Suku Lom merupakan salah satu suku tertua yang mendiami Pulau Bangka. Suku ini mendiami Desa Mapur di Kecamatan Riau Silip, Kabupaten Bangka.Lom dimaknai sebagai kelompok masyarakat yang belum mengenal agama (Agama yang diakui negara). Namun seiring berjalannya waktu, mayoritas penduduk Desa Mapur yang berjumlah sekitar 2.511 jiwa kemudian memeluk agama yang diakui oleh negara. Mereka juga membaur dengan etnis Tionghoa.
Suku Lom juga tersebar di Air Rabik, Dusun Pejem dan Dusun Tuing (Riau Silip dan Kecamatan Belinyu, Kabupaten Bangka) atau di antara Gunung Muda dan Gunung Pelawan. Mereka hidup dari dataran tinggi hingga pesisir. Dusun Tuing, dahulunya disebut Tu Wing, merupakan dusun yang berada di pesisir Tanjung Tuing yang menghadap Laut Natuna. Pembatas dusun dengan laut adalah sebuah bukit dengan ketinggian sekitar 300-an meter, dinamakan Bukit Tuing.
Dusun ini dipercaya sebagai titik awal kedatangan leluhur Suku Lom sekian abad lalu ke Pulau Bangka. Banyak versi mengenai asal Suku Lom, berdasarkan cerita yang dituturkan kepada keturunannya. “Ada yang menyebutnya dari Kerajaan Funan (Vietnam), pelarian dari Mojokerto, Jawa Timur, serta pelarian dari Kedatuan Sriwijaya ketika terjadi wabah lepra atau kusta di Sumatra,” tulis Rahmadi R dalam Perairan Tuing yang Dijaga Suku Lom, Kini Terancam Tambang Timah.
Selain itu, Suku Lom dipercaya keturunan dari Akek Antak (Kakek Antak), legenda di Pulau Bangka. Dia dipahami sebagai manusia sakti yang hidup pada abad 10. Jejak keberadaanya ada di sejumlah artefak batu granit, baik berupa telapak kaki, topi, dan lainnya. Masyarakat adat Suku Lom meyakini gunung, hutan, sungai, bumi, langit dan hewan yang merupakan bagian dari alam semesta, menyatu dengan roh nenek moyang mereka sehingga harus dihargai.
Masyarakat Suku Lom juga percaya jika setiap bagian dari alamat semesta ini mempunyai roh atau kekuatan, yang mengawasi manusia dan perbuatannya. Bencana akan menimpa apabila manusia melanggar kekuatan dan keselarasan alam.
Dekat dengan alam
Masyarakat Suku Lom memang sangat melestarikan alam, seperti kawasan hutan dan laut yang rusak. Sebab hutan dan laut yang lestari merupakan nafas kehidupan mereka, salah satunya akan kehilangan obat-obatan alami. Menurut Iskandar Zulkarnain, Sosiolog dari Universitas Bangka Belitung menyebut ruang hidup mereka seperti hutan dan laut, secara perlahan hilang, sebagai dampak kegiatan ekstraktif seperti perkebunan sawit skala besar dan pertambangan timah.
Iskandar menyebut Suku Lom seharusnya dipahami sebagai jejak peradaban luhur masyarakat Bangka, yang arif dengan alam, bukan dipahami sebagai masyarakat tertinggal atau terbelakang. “..Sebab, banyak pengetahuan mereka dengan alam yang jauh melampaui pengetahuan masyarakat yang mengklaim sudah maju. Pengetahuan yang mungkin dapat menyelamatkan Pulau Bangka menghadapi perubahan iklim global,” paparnya. Berdasarkan penelusuran Mongabay Indonesia, masyarakat di Dusun Mapur dan Dusun Tuing masih ada masyarakat adat yang bertahan dengan kepercayaan leluhurnya. Mereka sangat menghormati pohon, sungai, laut, dan tanah.
Ketua Badan Permusyawaratan Desa Mapur, Edo Martono menyebut masyarakat Suku Lom memandang manusia dan alam itu sama dan sejajar. Mereka percaya bahwa alam berhak untuk hidup di dunia ini. “Saya selalu diajarkan bagaimana memperlakukan hutan dan laut secara baik. Tidak boleh sembarangan. Begitupun soal obat-obatan, kami banyak mengambil dari hutan.” jelasnya. Suku Lom sangat mensakralkan hutan. Hutan merupakan lingkungan alam yang patut dilindungi, sehingga dianggap hutan adat dan hutan terlarang. Di dalamnya menyimpan banyak sumber daya alam seperti kayu, tumbuhan obat dan aneka satwa langka.
Selain hutan adat dan hutan larangan, terdapat hutan sekunder yang dijadikan lokasi menanam padi ladang (beras merah), lada, dan karet. Biasanya, ditemukan pohon dan madu pelawan, rotan, dan daun bengkuang. Selain lingkungan, Suku Lom juga menjaga peninggalan sejarah yaitu berupa situs Akek Antak yang berlokasi berada di pesisir antara Dusun Tuing dengan Dusun Pejem. Bentuknya berupa batu gendeng, batu sabak, batu pare, dan telapak kaki Akek Antak.
Akek Antak merupakan legenda terkenal di Pulau Bangka, kebenaran sosoknya dipercaya oleh Suku Lom. Sukardi, tokoh masyarakat Dusun Tuing menyebut situs ini sangat erat hubungannya dengan kehidupan masyarakat Suku Lom. “Sehingga masyarakat tidak berani merusak batuan di sana apalagi mengambilnya,” katanya.
Berbagai pihak sangat bersyukur akan keberadaan Suku Lom, khususnya bagi keberadaan legenda Akek Antek. Karena, bila bukan karena Suku Lom, bukan tidak mungkin kekayaan alam tersebut sudah lama hancur atau rusak. Di Dusun Tuing, selain ada situs batu Akek Antak juga terdapat sebuah pulau yang dinilai suci atau angker, yakni Pulau Punggur. Beberapa waktu lalu, menurutnya ada yang ingin membuka tempat wisata di pulau tersebut, namun dibatalkan karena ditolak warga.
Keberadaannya terancam
Sukardi menyebut secara umum generasi muda di Dusun Tuing sangat memahami legenda Akek Antak atau keberadaan wilayah sakral lainnya. Namun, karena kemajuan teknologi informasi dan perkembangan zaman dari luar dusun membuat para orang tua khawatir. Hal ini seperti pentingnya menjaga lingkungan, baik hutan maupun laut, dan juga menjaga etika. Jadi dirinya mengharapkan ada kelompok kreatif pemuda Dusun Tuing, seperti kegiatan seni, lingkungan yang masih beranjak dari nilai-nilai luhur Suku Lom.
Selain budaya, persoalan yang mengancam Suku Lom saat ini adalah konflik tenurial yang berlangsung sejak satu dekade terakhir. Misalnya di Dusun Air Abik, di mana mereka tidak mampu menjaga hutan adat dari ekspansi perusahaan perkebunan sawit. Lembaga adat disebut tidak mampu menjaga karena hutan adat dipahami sebagai hutan negara. Akibatnya, lembaga ini mengalami kepercayaan dari masyarakat. Pemberlakukan aturan adat akhirnya tidak memberikan dampak moral bagi masyarakat adat. SUMOQQ
“Pemerintah harus menyelamatkan Suku Lom. Sebab masyarakat adat ini yang masih menjaga nilai-nilai luhur masyarakat di Pulau Bangka dan Belitung, yang hidup harmonis dengan alam, kata Iskandar. Siput, salah satu generasi muda Dusun Tuing mengatakan terkait penambangan dirinya setuju tidak ada penambangan, baik di darat maupun laut di Dusun Tuing, meskipun di antara kami ada yang bekerja di tambang timah di luar dusun.
“Saya juga khawatir, di masa depan tidak ada lagi yang mengajarkan betapa pentingnya menjaga budaya kami yang sejak dahulu menolak timah,” jelasnya. Sejak masa Kesultanan Palembang, kolonial Belanda dan Inggris, serta Indonesia, Dusun Tuing bebas dari penambangan timah. Bukan hanya ada di daratan tetapi juga di laut. Saat booming timah di era 2000 an, mereka memutuskan tetap melaut dan berkebun.
Saat itu warga di Dusun Tuing yang sebagian besar keturunan Suku Lom dinilai bodoh oleh warga dusun lain, karena tidak mau hidup mewah dari hasil timah. Misalnya dapat membeli mobil, sepeda motor, atau membangun rumah besar dari penambangan timah. Namun sekian tahun, sebagian warga yang membuka timah kini hidupnya jauh lebih sulit dibandingkan warga yang tidak melakukannya. Kondisi mereka, misalnya terjebak hutang, keluarga bubar (cerai), atau terserang penyakit mematikan (kanker, TBC, dan liver).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar